PSYCHO: BAB 4 – Halo, Calon Mertua!

————————————————————————

*

“Bang Jev! Ada yang nyari. Katanya pacar Bang Jev. Pacarnya Bibik suruh tunggu di ruang tamu.”

Bik Ijah menyampirkan serbet kotak-kotak miliknya ke bahu sesaat mengetuk pintu kamar Jevan. Malam-malam begini sih biasanya majikannya itu sedang berolahraga. Suara musiknya diputar kenceng banget. Bik Ijah mengetuk pintu kamar Jevan sekali lagi.

“Bang Jev, pacarnya apa disuruh ke kamar Bang Jev aja?”

Terdengar bunyi jedag-jedug dari dalam kamar. Sepertinya Jevan memang tidak mendengar suaranya yang kalah dari musik yang disetel. Bik Ijah pun berinisiatif turun ke lantai bawah. Kalo pacarnya Bang Jevan boleh langsung ke kamarnya kan?

“Neng, Bang Jev-nya lagi olahraga di kamar. Neng—lho? Neng-nya kemana? Aduh!” Bik Ijah celingukan mencari keberadaan teman Jevan yang tidak sampai lima menit sudah hilang. “Apa pulang ya? Tadi pake mobil deh perasaan.”

Bik Ijah mengintip dari gorden ruang tamu memastikan jika mobil sedan merah yang dikendarai teman Jevan masih terparkir di depan rumah atau tidak.

“Mobilnya masih ada. Kok orangnya ngilang? Neengg…aduh, namanya lupa lagi tadi gak tanya. Tapi kalo gak salah, kayak pernah lihat dimanaaa gitu. Apa sering muncul di teve ya? Tauk deh. Neengg…”

Bik Ijah berteriak pelan menyusuri rumah majikannya yang hanya ditinggali Jevan dan para asisten rumah tangga.

Orang tua Jevan sering bolak-balik Jakarta-Bali untuk urusan bisnis. Keluarga Jevan adalah keluarga konglomerat. Bisnisnya dimana-mana. Abangnya Jevan sudah menikah dan mengurus cabang di Jakarta. Sedangkan orang tua Jevan masih sibuk mengurus cabang di Bali yang digadang-gadang akan diteruskan oleh Jevan nantinya.

Bianca tersenyum miring saat melihat pembantu Jevan kelimpungan mencari keberadaannya. Bianca menyelinap dengan mudah ke tangga menuju lantai dua. Tepatnya tadi Bianca mengamati gerak-gerik pembantu Jevan, alhasil dia tahu dimana kamar cowok itu berada.

Seenaknya saja Bianca ditinggal di tempat praktek psikiater sendirian. Untung saja Marsha menjemputnya. Bianca harus lebih hati-hati. Agaknya Jevan mulai berani dengannya. Bianca harus mengingatkan cowok itu agar tidak berani macam-macam dengannya.

Harus Bianca akui, Jevan cukup tangguh menolak cewek secantik dirinya. Kalau cowok lain, tanpa dikejar pun mereka akan bertekuk lutut padanya. Sayangnya, Jevan itu cowok langka. Bianca sampai harus mengejar mati-matian.

Bianca mendengar musik bervolume tinggi diputar dari dalam kamar Jevan. Jari Bianca memutar kenop pintu, berharap Jevan lupa tidak menguncinya jadi dia bisa masuk dengan mudah.

TAK!

Bianca tersenyum sumringah. Pintunya benar-benar tidak terkunci! Bianca bergegas memutar kenop pintu itu perlahan agar tidak menimbulkan bunyi kemudian mendorongnya.

Pemandangan pertama yang Bianca lihat adalah Jevan sedang melakukan push up di atas matras warna hitam sambil bertelanjang dada dan hanya memakai boxer sebagai bawahan. Bianca menelan ludah. Bianca tidak menyangka ternyata dibalik kemeja longgar yang selalu dikenakan cowok itu menyembunyikan keindahan.

Otot-otot sepanjang lengan, bahu, punggung, dada, dan perut Jevan terpampang jelas. Bianca ingin berdecak kagum tapi takut ketahuan. Oh, my, lihatlah perut itu! Keringat mengaliri seluruh badan Jevan. Bianca gemas dibuatnya.

Bianca membayangkan dirinya berlari kesana dan memeluk tubuh Jevan yang sangat menggiurkan itu. Dan seolah alam bawah sadarnya menyuruh Bianca berjalan mendekat, Bianca berjingkat-jingkat menghampiri Jevan yang membelakanginya.

Jevan menyelesaikan hitungan push up ke seratus dan tidur terlentang di atas matras. Matanya memejam kelelahan. Hampir satu jam Jevan berolahraga. Setelah ini dia ingin mandi lalu pergi tidur.

Itulah rencana Jevan—sebelum Jevan terperanjat kaget saat merasakan tangan seseorang meraba perutnya. Jevan belum sempat bangun ketika seseorang menaiki tubuhnya, duduk di atas perutnya dan menangkup wajahnya.

Jevan membelalak. Bianca berada di atas tubuhnya! Dan cewek gila itu sedang terkekeh senang. “KENAPA LO BISA ADA DI KAMAR GUE?!”

Bukannya sedih habis diteriaki Jevan plus ditendang jauh-jauh, Bianca mengaduh pelan karena bokongnya mendarat di lantai yang dingin. Jevan buru-buru mengambil kaosnya namun kalah cepat dari Bianca yang menyambarnya lebih dulu.

Jevan melompat berdiri. “Kenapa lo bisa ada di rumah gue? Gimana lo bisa masuk kamar gue?! Kembaliin kaos gue!”

“Jevan sayang,” Bibir Bianca mencebik yang sama sekali tidak lucu dan tidak enak untuk dipandang—setidaknya itu menurut Jevan. “Lo gak merasa bersalah gitu setelah ninggalin gue sendiri dengan psikiater itu?”

Oh, hampir saja Jevan lupa tadi sore dia meninggalkan Bianca tanpa rasa bersalah di rumah sakit. Jevan kembali diingatkan tentang seberapa bahayanya Bianca. Lihat, cewek itu dengan mudah menemukan alamat rumahnya dan mengendap-endap masuk ke kamarnya!

“Keluar lo dari rumah gue!!!”

Bianca bangkit berdiri. Dia maju selangkah mendekati Jevan. “Gue sakit hati tau lo pergi gitu aja. Gak ada gitu Jev, sedikit rasa kasihan buat gue?”

Jevan menggeleng tegas. “Enggak.” Tandasnya. “Sekarang, lo keluar dari kamar gue. Keluar dari rumah gue!”

Bukannya menurut, Bianca melompat dan memeluk badan berkeringat Jevan tanpa risih. “Apa-apaan lo?! Lepas!”

Bianca semakin mengeratkan pelukannya di sekeliling pinggang Jevan. Menempelkan pipinya di dada lembab milik Jevan. Merasakan detak jantung Jevan yang enak didengar. Bianca memejamkan mata. “Badan lo pelukable banget sih, Jev. Gue boleh gak tidur sambil peluk lo?”

“Cewek gila! Lepasin gue!”

Jevan berusaha melepaskan tautan tangan Bianca di sekitar tubuhnya bertepatan dengan jeritan di pintu kamarnya diikuti bunyi barang pecah belah jatuh ke lantai.

“JEVAAANN! Gini kelakuan kamu selama Mama gak ada?!”

Bik Ijah yang berdiri di belakang majikannya itu mengelus dada berulang kali sambil menutup mata.

***

Mama menghembuskan napas perlahan. Dia menatap anak bungsunya sedang duduk bersama perempuan cantik yang Mama perkirakan seumuran dengan Jevan.

“Ma…”

“Diam, Jev! Mama capek habis perjalanan Bali-Jakarta. Niatnya pengen ngasih kejutan buat kamu, eh, malah Mama yang terkejut.”

“Ma, sumpah, ini gak seperti yang Mama bayangkan. Jevan bener-bener gak ngelakuin apa-apa sama Bianca.”

“Nak Bianca, ya?” Mama tidak menggubris mendengar Jevan mulai ngeles. Mama sangat tau anaknya satu itu paling pintar ngeles. Daripada mendengar rengekan Jevan, lebih baik dia bertanya siapa perempuan cantik bernama Bianca ini.

Bianca tersenyum manis. “Iya, tante.”

“Temen satu angkatan?”

“Satu kelas, tante.” Seolah semesta mendukung Bianca untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan menggamit lengan Jevan lalu menatap Jevan dengan tatapan berbinar-binar.

“Kenapa harus malu sih, sayang? Aku kan juga pengen dikenalin ke mama kamu.”

Jevan menggeser lengannya gusar karena Bianca menyandarkan kepalanya sambil mendusel seperti anak kucing. Mama menatap Jevan dan Bianca bergantian lalu tertawa.

“Kamu persis banget, Jev, kayak Papa dulu waktu Mama deketin Papa kamu.”

Jevan membelalak. Bukannya membela anak sendiri, kok Mama malah nostalgia? “Halooo, Mama? Anak Mama habis jadi korban pelecehan loh! Badan Jevan digrepe-grepe!”

“Oh iya tante? Kayak gimana tante?” Jevan melirik sinis pada Bianca yang sangat antusias ingin mendengar cerita Mama.

“Kepo banget sih lo.” Jevan menoyor kepala Bianca menjauh darinya. Disentaknya lengannya agar terlepas dari belitan si ular sanca.

“Gak apa-apa dong. Siapa tau aku bisa belajar dari Mama kamu. Biar dapat tips dan trik dapetin hati cowok kulkas dua pintu kayak kamu.” Bianca menowel dagu Jevan gemas.

Jevan menepis tangan Bianca. “Cowok laen aja. Jangan gue. Kata lo banyak kan cowok di luaran sana yang bersedia ngantri demi elo.”

“Jangan cemburu gitu dong, sayang. Tenang aja. Aku udah jatuh hati sama kamu. Udah telat banget kalo disuruh pindah ke hati yang lain. Hati aku udah kamu kunci.”

“Emang gembok pake dikunci segala? Alergi banget gue denger lo ngomong sok dimanis-manisin gitu!”

“Hush!” Mama menjitak pelan kepala Jevan.

“Mama! Kok pake jitak kepala Jevan sih?” Jevan mengusap kepalanya sambil cemberut.

“Kamu bisa gak lembut dikit kalo ngomong sama pacar kamu?”

Jevan melotot. “Dia bukan pacar Jevan, Ma! Jevan ogah punya pacar kayak dia. Mama tau? Kemarin muka Jevan dipukul pake tas sampe mi—hmpphffftt! Apaan sih lo?!”

Bianca membekap mulut Jevan. Enak saja Jevan buka kartu di depan Mamanya. Bisa-bisa turun harkat martabatnya di mata calon mertua!

“Udah jalan berapa lama?”

“Dua bulan tante!” sahut Bianca cepat mendahului Jevan yang sudah ingin membejek-bejek muka Bianca saking kesalnya. Dua bulan lalu adalah pertemuan pertama mereka di gunung.

Mama manggut-manggut. Wajar atau terlalu cepat ya dua bulan pacaran dan Jevan sudah berani bawa cewek ke kamar? Gaya pacaran anak sekarang sama jaman dulu beda banget.

Tidak mau memusingkan cara pacaran Jevan, asal masih berada di koridor yang benar, sepertinya tidak masalah. Lagipula Jevan belum pernah berpacaran sebelum ini. Putranya itu termasuk kolot soal cinta.

“Nak Bianca, sebenernya tante masih pengen ngobrol banyak. Tapi tante capek banget habis perjalanan jauh. Oh iya, lusa kan Papanya Jevan pulang. Kebetulan bertepatan dengan acara tujuh bulanannya mbaknya Jevan. Nak Bianca dateng aja, gimana?”

“Ma! Ngapain ngajak dia sih? Itu kan acara keluarga. Private.”

Aduh, berabe nih! Acara tujuh bulanan biasanya keluarga besar berkumpul. Kalau sampai Bianca datang, bisa-bisa tante-tantenya mengira Jevan berniat serius dengan Bianca!

“Ya kan Bianca pacar kamu. Sama aja lah Mama anggap anak Mama sendiri.”

“Ya ampun, Ma. Mama baru sekali ketemu sama dia. Mama gak tau aja aslinya kayak gimana. Aku gak setuju, Ma!”

“Kok kamu gitu banget Jev sama pacar kamu? Mama kasih tau, kamu itu udah gede. Pacaran bukan buat main-main lagi. Tapi buat diseriusin.” Jevan membuang muka kesal.

Mama menoleh pada Bianca dan tersenyum. “Maklumin aja ya, anak tante emang gitu. Jangan dimasukin hati omongan Jevan. Nak Bianca nanti datang aja. Sekalian kenalan sama keluarga yang lain.”

“Makasih banyak tante untuk undangannya. Bianca pasti datang.”

“Ya sudah, kalian lanjutin aja ngobrolnya. Tante istirahat dulu ya.” Mama menoleh pada Jevan. “Jev, jangan bawa Bianca ngamar dulu. Belum sah kok udah main nyeret ke kamar. Nanti ada setan lewat tau rasa kamu!”

Jevan mencebikkan bibir kesal. Siapa juga yang main nyelonong masuk kamar tadi?

“Selamat istirahat, tante.” Mama beranjak dari sofa ruang tamu kemudian berlalu masuk ke kamar.

Setelah mendengar suara pintu kamar Mama tertutup, Jevan melotot menghadap Bianca. “Jangan dateng!”

Bianca mengernyitkan dahi. “Kenapa? Mama lo ngundang gue, masa gue gak dateng?”

“Pokoknya jangan dateng!”

“Kan gue pacar lo, Jev. Gak enak loh udah diundang eh malah gak dateng.”

“Lo bukan pacar gue.” Desis Jevan kesal. “Sekarang, bisa lo angkat kaki dari rumah gue?!”

Bianca mendengus pelan. Cewek itu berdiri lalu mendelik kesal pada Jevan. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, Bianca berbalik pergi sesuai keinginan Jevan.

Jevan menghempaskan punggungnya ke sofa. Tumben tuh cewek nurut kalo disuruh pergi? Jevan memijat keningnya. Sebal setengah mati karena sekarang Mama malah menganggap Bianca pacar Jevan.

Ah, gampang soal itu. Jevan tinggal bilang dia sudah putus dari Bianca sebelum acara. Jadi gak ada alasan lagi Bianca ikut acara keluarga besarnya.

Jevan mendengar langkah kaki mendekat. “Bik Ijah, lain kali kalo ada cewek namanya Bianca dateng ke rumah, kunci aja pintunya. Jangan dibiarin masuk. Haram hukum—”

Jevan yang semula mengira itu suara langkah kaki Bik Ijah, menoleh ke belakang tepat saat sebuah benda kenyal menempel di pipi kirinya. Jevan membelalak mengetahui Bianca kembali untuk mengecup pipinya!

Bianca terkekeh. Jevan tertegun menatap gigi gingsul kiri Bianca yang baru disadarinya dimiliki cewek itu dan hanya terlihat saat Bianca tertawa.

“Selamat tidur, Jevan. Mimpikan gue ya.” Bianca mengedipkan sebelah mata.

Jevan lupa, Bianca tetaplah Bianca. Cewek itu selalu bertindak impulsif dan semaunya.

***

Leave a comment